Kajian Kitab Al Hikam

0 Komentar »
Ma'rifat

Ilustrasi Wali-wali Alloh
 “Tidaklah disebut sebagai orang ahli ma’rifat orang yang memberi petunjuk (isyarah sesuatu) yang menjadi rahasia Allah yang haq, ia dapat menemukan dirinya lebih dekat kepada Allah daripada isyarahnya sendiri. Akan tetapi yang disebut ahli makrifat ialah orang yang tidak melihat dirinya mempunyai isyarah tertentu, karena kesirnaannya (fana’) dalam wujudnya Allah dan terbalutnya kenyataan diri dalam menyaksikan Allah.” (Al Hikam)
Dalam hikmah tersebut diterangkan tentang bagian-bagian orang yang sudah termasuk pada maqom fana’, yang karenanya tidak dijelaskan secara gamblang, tetapi hanya istilahnya saja yang dijelaskan, karena hikmah ini berhubungan dengan rasa yang ada pada orang yang ahli makrifat, yang pada umumnya kita sendiri belum pernah merasakannya, maka untuk lebih memudahkan para murid tasawuf dibuat beberapa istilah yang berkaitan dengan hal tersebut.

1. isyarat
2. ibaroh
3. maqom fana’ atau jam’i
4. maqom baqo’ atau farqi

Isyarat.

Pengertian isyarat disini bukan seperti pengertian mengarahkan (menuding) jari telunjuk kepada sesuatu, akan tetapi makna isyarah dalam hikmah ini berati, perkataan atau ucapan yang tidak jelas (kinayah) tentang segala sesuatu yang hanya orang tertentu yang bisa faham.

Ibaroh.

Ibaroh berarti suatu perkataan atau ucapan yang jelas (gamblang) tentang sesuatu hal yang semua orang bisa memahaminya.
Jadi isyarat adalah merupakan suatu istilah yang digunakan ahli tasawuf untuk menjelaskan tentang berapa hal, yang diantaranya

a. Asror, yaitu rahasia-rahasia Allah
b. Ilmu Laduni, yaitu ilmu yang langsung dari Allah (tanpa belajar)
c. Mawajid, yaitu rasa cinta dan rindu yang teramat sangat, yang terkadang sampai membuat seseorang kehilangan akalnya dan bahkan sampai tidak sadarkan diri.
d. Dzauq, yaitu rasa yang diterima oleh hati atau bathin. Seperti rasa tenteram karena merasa nikmat (ladzat) dalam berdzikir, shalat, dan lain sebagainya.

Dzauq terbagi menjadi dua


Dzauq Bathinyyah, yaitu semua rasa yang dialami oleh hati atau bathin

Dzauq Dhohiriyyah, yaitu semua rasa yang diterima oleh panca indera, seperti bau wangi, rasa sakit, pedas, asin, pahit, asam dan lain sebagainya.

Asror, ilmu laduni, mawajid dan dzauq adalah termasuk ‘aurat yang wajib untuk ditutupi dan tidak boleh diperlihatkan kepada khalayak umum. Hal ini dapat disamakan dengan ‘aurat dhohir dari tubuh manusia, semisal orang laki-laki, maka yang wajib ditutupi adalah antara pusar dan lutut, ssedang bagi wanita adalah seluruh anggota tubuh. Dan karena asror, ilmu laduni, mawajid, dan dzauq adalah termasuk ‘aurat, maka untuk menjelasakan perkara ini, para ahli tasawuf menggunakan isyarah (kinayah).

Al Fana’ (jam’u)

Para arif billah pasti melewati maqom jam’i. istilah lain dari maqomul jam’i adalah “wahdatul wujud” (manunggaling kawulo gusti). Istilah ini bukan berarti bahwa wujudnya Allah itu bersatu dengan wujudnya atau bercampur dengan wujudnya hamba, tetapi tiu hanyalah merupakan sebuah kiyasan atau istilah dari para sufi, yang mana timbulnya istilah itu setelah adanya pengalaman di dalam mengarungi samudera tasawuf.
Arti lain dari “manunggaling kawulo gusti” adalah , apabila ada seorang hamba melihat hamba atu ciptaan Allah yang lain, maka yang ia lihat bukan wujud ciptaan itu, tetapi yang terlihat adalah Allah. Bahkan ketika melihat dirinya sendiri pun ia tidak melihatnya, dan yang terlihat hanya Allah. Semuanya telah sirna, dan yang ada hanya Allah (dihati). Tidak wujud selain-Nya.
Pada “menyaksikan” itu, segala persoalan hilang dari dirinya karena dalam ke-esaan murni (al-fardaniyyat al-mahdhah). Dalam kondisi seperti itu ia terpesona dengan keindahan penyaksian itu, sehingga hilanglah kesadaran diri dan tidak lagi memiliki kemapuan untuk mengingat selain-Nya, bahkan tidak mampu untuk melihat diri sendiri. Pada saat dalam kesaksian seperti inilah sebagian dari para sufi seperti Al Hallaj dan Abu Yazid Al Busthami mengatakan, “anal haq” (ukulah kebenaran), “subahaani maa a’dhomi sya’ni” (maha suci aku dan betapa agung keberadaanku), “maa fil jubbati illa allahu” (tidak ada dalam jubahku ini kecuali Allah).
Apabila seseorang telah mengalami hal semacam ini, dan kemudian ia tidak mampu untuk menahan diri dengan cara tidak mengatakan secara ‘ibaroh (jelas), maka hal itu dianggap sebagai suatu pelanggaran. Hal ini juga pernah dialami Syaikh Lemah Abang ketika dipanggil oleh Sunan Kudus, “wahai Syaikh Siti Jenar”, dan beliau menjawab, “Syaikh Siti Jenar tidak ada, yang ada hanya Allah” ketika mengucapkan Itu, Syaikh Siti Jenar merasakan bahwa wujudnya sudah tidak ada lagi, yang ada hanyalah Allah semata. Dirinya sudah tidak nampak lagi, yang nampak hanya Allah semata.
Orang yang telah mencapai maqom fana’ atau jam’i, mereka menyadari bahwa semua yang dilakukannya adalah tindakan Allah. Syaikh Yusuf Al A’jami, “ siapa yang berkata pada maqom jam’i, maka yang berkata bukanlah dirinya, akan tetapi Allah yang berkata melalui lisan hambaNya”. Dan hal itu juga sesuai dengan hadist firman dalam hadits qudsi:
“fabii yasma’u wabii yabshuru wabii yanthiqu……..” (maka dengan Aku (Allah) ia mendengar, dan dengan Aku ia melihat, dan dengan aku pulalah ia berkata).
Setelah kaum ‘arifin melakukan pendakian mi’raj spiritual ke alam hakikat, mereka sepakat bahwa yang disaksikan oleh mereka hanyalah Allah Yang Haq. Tidak ada wujud selainNya. Dan dalam kesaksiannya ini masing-masing kaum ‘arifin memiliki memiliki dan cara kesaksian yang berbeda. Ada yang menyaksikan melalui “makrifat” dan “ilmu”, dan ada yang yang menyaksikan “dzauq” dan “al-hal”. Perumpamaan akan hal ini adalah seperti orang yang ingin mengetahui hakikat dari api. Ada yang mengetahui panas api melalui serentetan panjang imu pengetahuan dan perenungan, hingga meyakini bahwa itu panas, dan ada yang memperoleh keyakinan bahwa api itu panas karena ia sendiri sudah merasakan terbakar olehnya.
Saat menyaksikan itulah segala persoalan (syak) menjadi hilang dari diri mereka, karena tenggelam dalam keesaan murni (al-fardaniyat al-mahdhah). Mereka terpesona dengan keindahan penyaksian itu, kehilangan kesadaran diri, sehingga tidak memiliki kemampuan untuk mengingat selainNya. Hingga terlontar ucapan-ucapan mutasyabihat.

Imam Ghazali dalam kitabnya, “Misykat al Anwar”, memberikan komentar mengenai hal itu, bahwa semestinya para perindu Allah itu “asyiqin” tidak mengungkapkannya di saat kondisi ekstase “fana’”, karena kessaksian yang dialaminya bukanlah kesatuan “ittihad” yang hakiki, melainkan hanya “ittihad” seperti yang dinyanyikan oleh orang yang rindu berat,

“Akulah yang mencintai dan yang aku cintai,
kami ini ini dua ruh yang bersemayam dalam satu raga.”

Atau ibarat orang yang melihat minuman anggur dalam gelas, dan mengira bahwa warna anggur itu adalah hiasan dari gelas itu sendiri. Sebagaimana dalam untaian syair:

“Gelas bening dan anggurpun bening,
Keduanya serupa dan menyatu.
Sekan anggur tanpa gelas,
Dan gelas pun tanpa anggur.”

Ungkapan tersebut tentu berbeda, “bahwa anggur adalah gelas”, dan “anggur seakan-akan gelas. “Bila kondisi ‘ittihad’ ini memuncak, maka disebut dengan “fana’ al fana’” seseorang yang mengalami kefana’an, tidak saja saja merasakan kehilangan dirinya, bahkan rasa kehilangan dirinya itu telah hilang dalam kesadarannya. Tidak menyadari bahwa dirinya tenggelam dalam kefana’an, dan juga tidak menyadari akan kefanaan dirinya. Sebab bila masih menyadari akan kefanaan dirinya, berarti masih dalam kondisi sadar. Para ‘arifin yang tenggelam dalam kefanaan ini dalam bahasa majaz disebut “ittihad”, dan dalam bahasa hakikat disebut “tauhid.” (misykat al-anwar).

Orang yang benar-benar mencapai maqom fana’ atau “wahdatul wujud”, akan merasakan bahwa dirinya sudah tidak ada. Juga tidak mengetahui bahwa dirinya sudah sampai maqom apa, maqom fana’kah? Atau maqom yang lainnya, seperti ‘Abid, Murid, ‘Arif. Dan juga ketika ketika menerima tajalliNya, apakah tajalli af’al, tajalli sifat, tajalli dzat. Dalam perjalanan ibadahnya semisal, shalat, puasa, dzikir, dan amal ibadah lainnya, tidak merasakan bahwa dirinya sudah melakukannya, yang melakukan adalah hanya Allah. Hal ini sebagaimana makna yang tersirat dalam kalimat “laa haula walaa quwwata illa billah.” Seperti mayit yang berada di tangan orang yang memandikannya.
Dan bahwa apa yang disebut sebagai kehilangan dirinya dalam Tuhan (fana’), yang dipandang sebagai tujuan para sufi, sesungguhnya adalah merupakan tahap awal dari perjalanan yang sesungguhnya. (Al-Ghazali)

Al Baqo’ (farqi).

Setelah melewati maqom jam’i atau maqom fana’ seseorang akan memasuki maqom farqi atau disebut juga maqom baqo’. Orang yang sudah mencapai maqom ini akan kembali normal. Apabila ia melihat Allah maka ia juga dapat melihat mahluk begitu juga sebaliknya, ketika ia melihat mahluk maka ia juga dapat menyaksikan “musyaahadah” Allah didalam hatinya.
Dalam maqom inilah orang-orang melihat Allah dengan mata hatinya “arbab al-bashaa’ir” ketika melihat sesuatu mereka menyaksikan Allah bersamanya. Sebagaimana yang telah dikatakan para ‘arifin, “tidak ada sesuatupun yang aku lihat, kecuali sebelumnya aku telah melihat Allah sebelumnya”, sebagaimana yang diisyaratkan dalam firmanNya:

سَنُرِيهِمۡ ءَايَـٰتِنَا فِى ٱلۡأَفَاقِ وَفِىٓ أَنفُسِہِمۡ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمۡ أَنَّهُ ٱلۡحَقُّ‌ۗ

“Kami akan memperlihatkan kapada mereka di ufuk-ufuk dan didalam jiwa mereka sendiri bahwa Allah itu haq.” {Q.S. Al-Fushilat : 53}

Lebih jelasnya untuk lebih mudah dimengerti, seperti kisah yang tersirat dalam hadits ifqi (para pembuat berita dusta) panjang yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah r.a. ketika beliau beliau tertinggal oleh rombongannya, hingga kemudian ditemukan oleh Sofwan bin Mu’athol yang sedang mencari sesuatu miliknya yang hilang, dalam keadaan sedang tertidur. Ketika Sofwan mengetahui bahwa orang yang tertidur itu adalah wanita istri Rosulullah saw. Ia menjadi kaget dan mengucap istirja’ (Inna Lillahi Wa inna ilahi roji’un). ‘Aisyah ra seketika terbangun ketika melihat lelaki itu dan segera menutupi wajahnya dengan cadarnya. Kemudian Sofwan merundukkan ontanya dan menyuruh ‘Aisyah ra. Menaikinya tanpa berkata sepatah katapun, hanya dengan isyarat. Setelah Sofwan melanjutkan perjalanannya dengan menuntun ontanya yang kini telah dinaiki ‘Aisyah ra. Hingga akhirnya dapat menyusul rombongan bala tentaranya.
Sejak saat itu kemudian tersebar berita dusta (gosip) yang dihembuskan oleh ahli fitnah, yang mula-mula dihembuskan oleh Abdullah bin Ubay bin Sawul, yang menuduh bahwa ‘Aisyah telah berbuat tidak terpuji. Hingga sesampainya tiba di Madinah, beliau jatuh sakit selama sebulan. Keadaannya menjadi makin tertekan ketika menyadari ada sedikit perubahan sikap Rosulullah, yang pada waktu itu juga sedang gelisah menunggu datangnya wahyu dari Allah yang berkaitan dengan masalah itu. Cerita tidak kami tulis secara detail disini. Singkat cerita, ‘Aisyah ra. Meminta kepada orang tuanya seraya berkata, “jawablah Rosulullah oleh kalian berdua!.” Akan tetapi kedua orang tuanya menjawab, “Demi Allah, kami tidak mengetahui apa yang akan kami katakan.” Mendengar itu, ‘Aisyah ra. Berkata, “Sesungguhnya aku, Demi Allah telah mengetahui bahwa engkau telah mendengar berita tersebut sehingga engkau terpengaruh olehnya dan mau mempercayainya. Seandainya saja aku katakan kepadamu bahwa aku tidak bersalah, sehingga engkau terpengaruh dan mau mempercayaiku. Dan seandainya aku mengaku padamu, bahwa aku telah melakukan suatu perkara, sedangkan Allah mengetahui bahwa aku tidak bersalah, niscaya engkau (Nabi) percaya kepadaku. Demi Allah aku tidak menemukan suatu perumpamaan yang kukatakan kepada engkau kecuali sebagaimana ayah Yusuf ketika mengatakan:

فَصَبۡرٌ۬ جَمِيلٌ۬‌ۖ وَٱللَّهُ ٱلۡمُسۡتَعَانُ عَلَىٰ مَا تَصِفُونَ

“maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolonganNya terhadap apa yang kalian ceritakan” (Q.S. Yusuf 18)

Kemudian ‘Aisyah ra. Beranjak dari tempatnya dan langsung merebahkan diri di peraduannya. Sejak saat itu Rosulullah tidak lagi menetapi majlisnya hingga turun kepada beliau firman Allah Q.S An-Nur : 11-21, yang menyatakan kesucian ‘Aisyah ra. Wahyu itu membuat Rosulullah sangat senang. Dengan muka berseri-seri beliau sehera menyampaikan kabar gembira itu kepada ‘Aisyah ra. Maka ‘Aisyah ra. segera ditegur ibunya, “berdirilah, dan berterimakasihlah kepada Rosulullah.” Dan ‘Aisyah ra. berkata, “Tidak. Demi Allah, aku tidak akan berterima kasih kepada selain Allah yang telah menurunkan wahyu tentang kebersihanku.” (ketika mengucap ini, ‘Aisyah ra. dalam kondisi fana’)
Kemudian Abu Bakar ra. menyuruh ‘Aisyah ra. untuk bersyukur kepada Rosulullah, karen dengan lantaran beliaulah wahyu itu diturunkan dan ditujukan kepada ‘Aisyah ra.
Dalam hadits tersebut terkandung makna, bahwa disaat ‘Aisyah ra. mengatakan, “Tidak, Demi Allah, aku tidak akan berterima kasih kepada selain Allah yang telah menurunkan wahyu tentang kebersihanku.” Beliau berada maqom fana’, karena diwaktu mendapat cobaan itu beliau hanya memohon kepada Allah, sampai akhirnya wushul kepada Allah dan beliau lihat hanya Allah semata, sedangkan Rosulullah yang hadir kala itu tidak tampak oleh beliau.
Lain halnya dengan Abu Bakar ra., disamping beliau melihat Allah, Rosulullah juga terlihat oleh beliau. Yang mana hal ini menandakan, bahwa Abu Bakar ra. telah berada dalam maqom baqo’. Dan hal itu sesuai dengan sabda Rosulullah yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi:

من لم يشكر الناس لم يشكرالله

“Siapa yang tidak bersyukur kepada manusia (makhluq), maka ia tidak bisa bersyukur kepada Allah ta’ala”

Orang yang telah mencapai maqom baqo’, adalah orang yang telah bisa mencapai maqom makrifat yang hakiki. Orang yang telah mencapai maqom baqo’, dan sebelumnya didahului kondisi fana’, disebutu dengan “firoq ba’dal jam’i”. sedangkan orang yang telah mencapai maqom baqo’ tanpa pernah sama sekali fana’, disebut “firoq qoblal jam’i”. pada yang disebutu terakhir, terkadang seseorang masih tergolong “ahlul hijab”. (Iqodhul Himam).

Orang yang berada pada maqom “firoq qoblal jam’i” , kebenaran ucapannya masih harus sesuai dan didasari Al-Qur’an, Al Hadits dan pendapat-pendapat para ulama’, karena perkataannya masih dimungkinkan salah dan benar. Dan perkataan orang yang berada pada maqom “firoq ba’dal jam’i, bisa dipastikan apa yang dikatakannya adalah benar. Karena apa yang mereka katakan adalah merupakan suatu pengalaman nyata melalui “dzauq”, seperti perumpaan api di awal tulisan ini.

Wallahu A’lamu Bishshowab.

Semoga Allah memberikan kepada kita semua istiqomah dan ikhlas dalam mengabdikan diri kepadaNya.


Sumber Artikel : http://blog.its.ac.id/


Baca Selengkapnya...

KH Maemun Zubair ( Mbah Mun )

0 Komentar »
KH Maemun Zubair
Jika matahari terbit dari timur, maka mataharinya para santri ini terbit dari Sarang. Pribadi yang santun, jumawa serta rendah hati ini lahir pada hari Kamis, 28 Oktober 1928. Beliau adalah putra pertama dari Kyai Zubair. Seorang Kyai yang tersohor karena kesederhanaan dan sifatnya yang merakyat. Ibundanya adalah putri dari Kyai Ahmad bin Syu’aib, ulama yang kharismatis yang teguh memegang pendirian.

Mbah Moen, begitu orang biasa memanggilnya, adalah insan yang lahir dari gesekan permata dan intan. Dari ayahnya, beliau meneladani ketegasan dan keteguhan, sementara dari kakeknya beliau meneladani rasa kasih sayang dan kedermawanan. Kasih sayang terkadang merontokkan ketegasan, rendah hati seringkali berseberangan dengan ketegasan. Namun dalam pribadi Mbah Moen, semua itu tersinergi secara padan dan seimbang.

Kerasnya kehidupan pesisir tidak membuat sikapnya ikut mengeras. Beliau adalah gambaran sempurna dari pribadi yang santun dan matang. Semua itu bukanlah kebetulan, sebab sejak dini beliau yang hidup dalam tradisi pesantren diasuh langsung oleh ayah dan kakeknya sendiri. Beliau membuktikan bahwa ilmu tidak harus menyulap pemiliknya menjadi tinggi hati ataupun ekslusif dibanding yang lainnya.

Kesehariannya adalah aktualisasi dari semua itu. Walau banyak dikenal dan mengenal erat tokoh-tokoh nasional, tapi itu tidak menjadikannya tercerabut dari basis tradisinya semula. Sementara walau sering kali menjadi peraduan bagi keluh kesah masyarakat, tapi semua itu tetap tidak menghalanginya untuk menyelami dunia luar, tepatnya yang tidak berhubungan dengan kebiasaan di pesantren sekalipun.

Kematangan ilmunya tidak ada satupun yang meragukan. Sebab sedari balita ia sudah dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama. Sebelum menginjak remaja, beliau diasuh langsung oleh ayahnya untuk menghafal dan memahami ilmu Shorof, Nahwu, Fiqih, Manthiq, Balaghah dan bermacam Ilmu Syara’ yang lain. Dan siapapun zaman itu tidaklah menyangsikan, bahwa ayahnda Kyai Maimoen, Kyai Zubair, adalah murid pilihan dari Syaikh Sa’id Al-Yamani serta Syaikh Hasan Al-Yamani Al- Makky. Dua ulama yang kesohor pada saat itu.

Kecemerlangan demi kecermelangan tidak heran menghiasi langkahnya menuju dewasa. Pada usia yang masih muda, kira-kira 17 tahun, Beliau sudah hafal diluar kepala kiab-kitab nadzam, diantaranya Al-Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Matan Jauharotut Tauhid, Sullamul Munauroq serta Rohabiyyah fil Faroidl. Seiring pula dengan kepiawaiannya melahap kitab-kitab fiqh madzhab Asy-Syafi’I, semisal Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab dan lain sebagainya.

Pada tahun kemerdekaan, Beliau memulai pengembaraannya guna ngangsu kaweruh ke Pondok Lirboyo Kediri, dibawah bimbingan KH. Abdul Karim yang terkenal dengan Mbah Manaf. Selain kepada Mbah Manaf, Beliau juga menimba ilmu agama dari KH. Mahrus Ali juga KH. Marzuqi.

Di pondok Lirboyo, pribadi yang sudah cemerlang ini masih diasah pula selama kurang lebih lima tahun. Waktu yang melelahkan bagi orang kebanyakan, tapi tentu masih belum cukup untuk menegak habis ilmu pengetahuan.

Tanpa kenal batas, Beliau tetap menceburkan dirinya dalam samudra ilmu-ilmu agama. Sampai pada akhirnya, saat menginjak usia 21 tahun, beliau menuruti panggilan jiwanya untuk mengembara ke Makkah Al-Mukarromah. Perjalanan ini diiringi oleh kakeknya sendiri, yakni KH. Ahmad bin Syu’aib.

Tidak hanya satu, semua mata air ilmu agama dihampirinya. Beliau menerima ilmu dari sekian banyak orang ternama dibidangnya, antara lain Sayyid ‘Alawi bin Abbas Al-Maliki, Syaikh Al-Imam Hasan Al-Masysyath, Sayyid Amin Al-Quthbi, Syaikh Yasin bin Isa Al- Fadani dan masih banyak lagi.

Dua tahun lebih Beliau menetap di Makkah Al- Mukarromah. Sekembalinya dari Tanah suci, Beliau masih melanjutkan semangatnya untuk “ngangsu kaweruh” yang tak pernah surut. Walau sudah dari Arab, Belaiau masih meluangkan waktu untuk memperkaya pengetahuannya dengan belajar kepada Ulama-ulama’ besar tanah Jawa saat itu. Diantara yang bisa disebut namanya adalah KH. Baidlowi (mertua beliau), serta KH. Ma’shum, keduanya tinggal di Lasem. Selanjutnya KH. Ali Ma’shum Krapyak Jogjakarta, KH. Bisri Musthofa, Rembang, KH. Abdul Wahhab Hasbullah, KH. Mushlih Mranggen, KH. Abbas, Buntet Cirebon, Sayikh Ihsan, Jampes Kediri dan juga KH. Abul Fadhol, Senori.

Pada tahun 1965 beliau mengabdikan diri untuk berkhidmat pada ilmu-ilmu agama. Hal itu diiringi dengan berdirinya Pondok Pesantren yang berada disisi kediaman Beliau. Pesantren yang sekarang dikenal dengan nama Al-Anwar. Satu dari sekian pesantren yang ada di Sarang.

Keharuman nama dan kebesaran Beliau sudah tidak bisa dibatasi lagi dengan peta geografis. Banyak sudah ulama-ulama dan santri yang berhasil “jadi orang” karena ikut di-gulo wentah dalam pesantren Beliau. Sudah terbukti bahwa ilmu-ilmu yang Belaiu miliki tidak cuma membesarkan jiwa Beliau secara pribadi, tapi juga membesarkan setiap santri yang bersungguh-sungguh mengecap tetesan ilmu dari Beliau.

Tiada harapan lain, semoga Allah melindungi Beliau demi kemaslahatan kita bersama di dunia dan akherat.
Amin.
Baca Selengkapnya...

KH. Zuhrul Anam Hisyam

0 Komentar »
Dai Keliling dari Banyumas 

Sosok ulama yang satu ini kalem, namun kalau berceramah ia mampu menguraikan persoalan yang sulit menjadi mudah dicerna oleh bahasa masyarakat awam yang di pedesaan. Tak heran, penampilan dai keliling dariKH Zuhrul Anam Hisyam ini mengundang banyak respon dari masyarakat Banyumas dan sekitarnya
Pernah suatu kali ia diundang di daerah Belik (Pemalang). Saat itu suasana hujan turun dengan lebat. Medan yang curam dan jalanan yang terjal apalagi daerahnya terletak di utara pegunungan Slamet. Bisa dibayangkan jalan yang dilalui berbatu-batu dan belum beraspal. Karena kendaraan roda empat yang ia bawa tidak bisa lagi meneruskan perjalanan, akhirnya panitia yang menjemput memutuskan melanjutkan perjalanan dengan kendaraan motor trail.
Hujan yang turun dengan lebat dan diselingi petir yang menyambar-nyambar tak menyurutkan langkahnya untuk berdakwah. Ia akhirnya menurut saja dengan panitia dan naik motor yang disediakan panitia. Jalan pematang sawah yang lebarnya tak kurang dari selebar satu kaki dan naik turun dikebut oleh panitia yang seperti mengejar waktu apalagi situasi sudah mulai larut malam, rasa cemas campur aduk di tengah gelap gulita malam dan hujan yang turun dengan deras dari langit.
Akibatnya sampai di lokasi pengajian di desa terpencil di kecamatan Belik (Pemalang), semua pakaian yang ia kenakan basah kuyup dan sorban yang ia kenakan sampai lepas, hilang entah kemana. Untung, di lokasi pengajian tidak hujan dengan deras. “Itu salah satu pengalaman yang sangat mengesankan dalam berdakwah, walau pun jamaah yang mengundang hanya sedikit (sekitar 30 orang). Namun masih ada orang-orang yang membutuhkan siraman agama,” kata KH Zuhrul Anam mengawali kisahnya kepada alKisah.
Kiprah KH Zuhrul Anam Hisyam sebagai dai keliling sudah tak diragukan lagi. Hampir sebagian besar acara pengajian yang ia isi selalu dipadati jemaah. Sebagian besar jamaah yang mendengar isi pengajiannya merasa selalu bertambah ilmu dan selalu ingin menghadiri pengajian yang diisi oleh Kyai muda ini.
Rumahnya yang asri dan terletak di komplek Pesantren At-Taujieh Al-Islamy walau berada di daerah pelosok senantiasa di datangi oleh orang untuk mengundang pengajian. Ia memang dikenal sebagai sosok dai keliling yang gigih berdakwah. Selain berceramah, ia sehari-hari adalah salah satu pengasuh pondok pesantren At-Taujieh Al-Islamy yang terletak nun jauh di belahan Banyumas bagian selatan, tepatnya di Leler, Desa Randegan, Kebasen Banyumas. Walau pun pesantren ini terlerletak di daerah yang terpencil, itu tak menyurutkan banyak santri untuk menimba ilmu di pesantren yang ia asuh.
Di tengah kesibukannya mengajar pesantren, mengisi undangan pengajian, KH Zuhrul Anam juga masih menyempatkan diri datang mengajar secara tetap ke daerah timur Banyumas, yakni kabupaten Kebumen. Walau ia harus berangkat dari Banyumas sejak lepas dzuhur ke Kabupaten Kebumen untuk mengajar taklim selapan hari di empat tempat yang berbeda yakni di Kecamatan Kota Kebumen, Karanganyar, Petanahan dan Prembun. Di pengajian taklim selapan hari itu, ia mengajar para kyai-kyai kampung yang ada di Kebumen beberapa kitab penting, seperti; Tafsir Jalalain, Hikam, Nashoihul Ibad, dan Mafahim Yajibu Antu Shahah (meluruskan faham-faham yang keliru).
Permintaan taklim dan mengajar kitab salaf (kitab kuning) secara tetap juga datang dari takmir Masjid Agung Darussalam, yang terletak di sebelah barat alun-alun Kota Kabupaten Purbalingga namun sampai sekarang belum terlaksana, karena masih dicarikan waktu luang dan paling tepat untuk mengajar di daerah Kabupaten Purbalingga, sekitar 50 kilometer ke arah timur dari kediaman rumahnya.
Gus Anam, panggilan akrabnya, dilahirkan di Leler, 41 tahun yang lalu. Ia merupakan putra ke 10 dari KH. Hisyam Zuhdi. Sebagaimana dengan kalangan anak-anak kyai, ia dididik dalam lingkungan yang taat beragama dan penuh nuansa religius oleh kedua orangtuanya. Pendidikan Sekolah Dasar sampai SMP ia tamatkan di Sampang. Dan tentu saja, ia juga menempa diri di lingkungan pesantren Leler (At-Taujieh Al-Islamy) sampai tahun 1982.
Kedua orangtuanya sangat mementingkan ilmu pengetahuan, utamanya ilmu-ilmu agama. Sang ayah pernah berpesan kepadanya, ”Orang yang penting itu adalah ilmunya dan jangan suka popularitas.” Ia melanjukan,“Abah adalah orang yang sangat hormat (berhidmah) kepada guru-gurunya dan keluarganya. Bahkan setiap bertemu dengan KH Bisri Musthofa, beliau selalu mencium tangannya dengan bolak-balik.”
Pernah suatu ketika ada datang salah satu keluarga KH. Bisri Musthofa dari Rembang ke kediaman KH. Hisyam Zuhdi di Leler, semua anggota keluarga dipanggil semua untuk menghormati kedatangan salah satu tamunya itu.
Gus Anam juga sempat bertabarukan ke Pondok Pesantren Al Balagh (Bangilan, Tuban) selama sebulan dan Syekh Mahmud Yunus di (Cirebon). Zuhrul Anam kemudian melanjutkan diri ke Pondok Pesantren Al-Anwar (Sarang, Rembang) diasuh oleh KH Maimoen Zubair dari tahun 1985-1989. Di pondok terkenal melahirkan banyak ulama dan pengasuh pondok pesantren itu, ia tak menyia-nyiakan waktunya untuk belajar secara tekun. ”Waktu di Pesanren Al-Anwar saya manfaatkan betul untuk belajar. Sekalipun pelajaran pondok sudah berakhir, saat di kamar saya banyak membaca kitab dan saya baru tidur pada waktu jam 3 pagi dini hari.”
Mengenai sosok KH Maimoen Zubair yang juga adalah pengasuh Ponpes Al-Anwar (Sarang, Rembang) dan merupakan salah satu guru utamanya, KH Zuhrul Anam mengaku banyak menimba ilmu-ilmu agama. “Beliau adalah orang yang mempunyai sifat penyayang sangat tinggi dan ulama yang tinggi keilmuannya,” kata Bapak 2 putra ini (1 laki-laki, 1 perempuan).
Ia juga sempat ke Pandeglang (Banten) untuk tabarrukan dengan Buya Dimyati. Pada tahun 1989 ia sempat belajar dengan KH Mas’ud di Kutoarjo selama tujuh bulan untuk memperdalam kitab Shahih Muslim dan kitab Ihya Ulimiddin. Pada tahun 1992 ia sebenarnya ingin melanjutkan Syekh Ramadhan Al-Buthy, salah seorang penulis terkenal dari Timur Tengah. Ia dikenal sebagai penulis fiqhussirah (pemahaman tentang sejarah Nabi Muhammad SAW) dan Syarah Wirid An-Nawawi (kumpulan penjelasan wirid Imam Nawawi Ad-Dimasyqi). ”Cita-cita saya ingin belajar ke Syria. Saya sangat terkagum-kagum dengan Dr. Syekh Said Ramadhan Al-Buthy (Syiria) dan saya senatiasa berdoa kepada Allah SWT semoga cita-cita saya itu terkabul.”
Namun salah satu kakaknya yang sedang belajar di Mekkah kemudian mengajaknya untuk masuk ke salah satu Ribath Al- Hanafiah yang diasuh oleh Dr. Ahmad Nur Syekh. Tahun 1992 itu juga, ia kemudian berangkat ke Ribath Al-Hanafiah di Mekkah ia mulai belajar dengan Dr. Ahmad Nur Syekh, Syekh Yasir, Syekh Ismail Al-Yamani, Syekh Muhammad bin Alwi bin Abas Al-Maliki Al-Hasani dan lain-lain.
Ia selama di Mekkah ditanggung oleh Dr Ahmad Nur Syekh, segala macam keperluan pribadinya ditanggung oleh guru utamanya itu. “Saya hampir katakan, saya belum pernah ketemu seorang ulama seperti Dr Ahmad Nur Syekh. Kalau mengajar walau tidak membuka kitab namun isi yang diterangkan sama persis dengan tata urutannya yang ada di kitab. Orang yang alim seperti ini mempunyai sifat tawadlu (rendah hati) yang luar biasa.”
Dr Ahmad Nur Syekh sekalipun seorang ulama besar, beliau tidak mau dilayani oleh orang lain. Sampai-sampai urusan sandal pribadinya tidak mau dibawa oleh orang lain (dilayani) saat masuk masjid atau dalam kegiatan-kegiatan keagamaan yang kerap digelar di Mekkah.
Di dalam tradisi Ribath Hanafiah, kitab Bukhari dan Muslim bila diajarkan selalu diulang, dan pengulangannya secara mendetail. Galibnya, ia banyak menimba pelajaran ilmu Hadits, Kutubussab’ah (induk hadits yang tujuh), seperti Bukhari Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, Ad-Darimi. Selama di Mekkah, ia mengaku banyak hidup prihatin apalagi hidup di negeri orang. Karena dalam serba kesederhanaan dan susah, ia mengaku banyak berdoa agar diberi kemudahan dalam menimba ilmu.
Pada tahun 1997 ia kemudian pulang ke Banyumas, tempat kelahirannya untuk mengabdikan diri pada pondok pesantren yang didirikan oleh sang ayahandanya yakni KH Hisyam Zuhdi bersama kakak-kakaknya.
Kiprah Dakwah
Ia saat ini menjabat sebagai salah satu ketua Wustho (semacam Katib Am) di Jami’ah Ahlith Thariqah Muktabarah An-Nahdliah (JATMAN) ini juga mengemban amanah sebagai ketua Forum Silaturahmi Kyai Banyumas (FSKB). FSKB kegiatannya saat ini masih memfokuskan untuk mempererat silaturahmi antar kyai pesantren dari berbagai latar belakang background dan latar belakang partai politik yang berbeda se-Kabupaten Banyumas.
Ke depan, lanjutnya, forum silaturahmi ini mempunyai tujuan yang mulia yakni selain memberdayakan ekonomi pesantren melalui koperasi dan meningkatkan keilmuan para santri. “Kita menyadari kalangan pesantren harus mandiri secara ekonomi karenanya praktek ekonomi yang tepat adalah bagaimana memberdayakan ekonomi pesantren, dengan memberdayakan koperasi pesantren (Kopontren).”
Hanya memang sebagaimana kita ketahui bersama, kalangan pesantren masih lemah dalam bidang Sumber Daya Manusia (SDM) dan permodalan. “Dengan pendirian dan pemberdayaan koperasi santri, diharapkan ke depan para santri bisa mandiri secara ekonomi dan mampu menopang dakwahnya di tengah-tengah umat,” katanya.
Memang sosok Kyai muda dari Banyumas ini terbilang banyak mempunyai gagasan cerdas di tengah umat Islam yang masih butuh bimbingan dan pendampingan. Salah satu cita-citanya yang ingin diwujudkan adalah mendirikan pesantren mahasiswa di Purwokerto. “Kalangan mahasiswa sangat banyak di Purwokerto. Apalagi kalangan mahasiswa juga menjadi objek gangguan faham-faham di luar ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja). Anak-anak Nahdhliyin yang masih mahasiswa, paling tidak harus paham apa itu Aswaja dan siap dididik menjadi benteng dari Aswaja,” katanya.
KH Zuhrul Anam saat ini mengaku prihatin dengan keadaan masyarakat Islam utamanya di Kabupaten Banyumas yang banyak diserbu dengan berbagai pemikiran liberal dan kapitalistik. “Gerakan liberal dan merasa paling benar (mengaku-ngaku Aswaja) sudah masuk ke desa-desa.”
Selain itu, umat juga tengah dikepung oleh kerusakan moral yang sudah begitu merata di mana-mana. “Pelacur saja sekarang sudah pakai jilbab. Bahkan masuk ke dalam kampus-kampus dan kalau pakai jilbab harganya lebih mahal, ini sangat memprihatinkan.”
Untuk itu, katanya jangan jauhkan anak-anak kita dari para ulama. “Didik anak-anak kita dengan pendidikan agama Islam. Dekatkan mereka dengan para ulama. Sebab dengan melahirkan generasi terdidik (akhlakul karimah) itu bisa menjadi benteng yang kuat dari segala faham yang salah dan bisa merusak moral anak-anak kita,” demikian pesan terakhirnya.
Baca Selengkapnya...