KH. Zuhrul Anam Hisyam
0 Komentar »Dai Keliling dari Banyumas
Sosok ulama yang satu ini kalem, namun kalau berceramah ia mampu menguraikan persoalan yang sulit menjadi mudah dicerna oleh bahasa masyarakat awam yang di pedesaan. Tak heran, penampilan dai keliling dariKH Zuhrul Anam Hisyam ini mengundang banyak respon dari masyarakat Banyumas dan sekitarnya
Pernah suatu kali ia diundang di daerah Belik (Pemalang). Saat itu suasana hujan turun dengan lebat. Medan yang curam dan jalanan yang terjal apalagi daerahnya terletak di utara pegunungan Slamet. Bisa dibayangkan jalan yang dilalui berbatu-batu dan belum beraspal. Karena kendaraan roda empat yang ia bawa tidak bisa lagi meneruskan perjalanan, akhirnya panitia yang menjemput memutuskan melanjutkan perjalanan dengan kendaraan motor trail.
Hujan yang turun dengan lebat dan diselingi petir yang menyambar-nyambar tak menyurutkan langkahnya untuk berdakwah. Ia akhirnya menurut saja dengan panitia dan naik motor yang disediakan panitia. Jalan pematang sawah yang lebarnya tak kurang dari selebar satu kaki dan naik turun dikebut oleh panitia yang seperti mengejar waktu apalagi situasi sudah mulai larut malam, rasa cemas campur aduk di tengah gelap gulita malam dan hujan yang turun dengan deras dari langit.
Akibatnya sampai di lokasi pengajian di desa terpencil di kecamatan Belik (Pemalang), semua pakaian yang ia kenakan basah kuyup dan sorban yang ia kenakan sampai lepas, hilang entah kemana. Untung, di lokasi pengajian tidak hujan dengan deras. “Itu salah satu pengalaman yang sangat mengesankan dalam berdakwah, walau pun jamaah yang mengundang hanya sedikit (sekitar 30 orang). Namun masih ada orang-orang yang membutuhkan siraman agama,” kata KH Zuhrul Anam mengawali kisahnya kepada alKisah.
Kiprah KH Zuhrul Anam Hisyam sebagai dai keliling sudah tak diragukan lagi. Hampir sebagian besar acara pengajian yang ia isi selalu dipadati jemaah. Sebagian besar jamaah yang mendengar isi pengajiannya merasa selalu bertambah ilmu dan selalu ingin menghadiri pengajian yang diisi oleh Kyai muda ini.
Rumahnya yang asri dan terletak di komplek Pesantren At-Taujieh Al-Islamy walau berada di daerah pelosok senantiasa di datangi oleh orang untuk mengundang pengajian. Ia memang dikenal sebagai sosok dai keliling yang gigih berdakwah. Selain berceramah, ia sehari-hari adalah salah satu pengasuh pondok pesantren At-Taujieh Al-Islamy yang terletak nun jauh di belahan Banyumas bagian selatan, tepatnya di Leler, Desa Randegan, Kebasen Banyumas. Walau pun pesantren ini terlerletak di daerah yang terpencil, itu tak menyurutkan banyak santri untuk menimba ilmu di pesantren yang ia asuh.
Di tengah kesibukannya mengajar pesantren, mengisi undangan pengajian, KH Zuhrul Anam juga masih menyempatkan diri datang mengajar secara tetap ke daerah timur Banyumas, yakni kabupaten Kebumen. Walau ia harus berangkat dari Banyumas sejak lepas dzuhur ke Kabupaten Kebumen untuk mengajar taklim selapan hari di empat tempat yang berbeda yakni di Kecamatan Kota Kebumen, Karanganyar, Petanahan dan Prembun. Di pengajian taklim selapan hari itu, ia mengajar para kyai-kyai kampung yang ada di Kebumen beberapa kitab penting, seperti; Tafsir Jalalain, Hikam, Nashoihul Ibad, dan Mafahim Yajibu Antu Shahah (meluruskan faham-faham yang keliru).
Permintaan taklim dan mengajar kitab salaf (kitab kuning) secara tetap juga datang dari takmir Masjid Agung Darussalam, yang terletak di sebelah barat alun-alun Kota Kabupaten Purbalingga namun sampai sekarang belum terlaksana, karena masih dicarikan waktu luang dan paling tepat untuk mengajar di daerah Kabupaten Purbalingga, sekitar 50 kilometer ke arah timur dari kediaman rumahnya.
Gus Anam, panggilan akrabnya, dilahirkan di Leler, 41 tahun yang lalu. Ia merupakan putra ke 10 dari KH. Hisyam Zuhdi. Sebagaimana dengan kalangan anak-anak kyai, ia dididik dalam lingkungan yang taat beragama dan penuh nuansa religius oleh kedua orangtuanya. Pendidikan Sekolah Dasar sampai SMP ia tamatkan di Sampang. Dan tentu saja, ia juga menempa diri di lingkungan pesantren Leler (At-Taujieh Al-Islamy) sampai tahun 1982.
Kedua orangtuanya sangat mementingkan ilmu pengetahuan, utamanya ilmu-ilmu agama. Sang ayah pernah berpesan kepadanya, ”Orang yang penting itu adalah ilmunya dan jangan suka popularitas.” Ia melanjukan,“Abah adalah orang yang sangat hormat (berhidmah) kepada guru-gurunya dan keluarganya. Bahkan setiap bertemu dengan KH Bisri Musthofa, beliau selalu mencium tangannya dengan bolak-balik.”
Pernah suatu ketika ada datang salah satu keluarga KH. Bisri Musthofa dari Rembang ke kediaman KH. Hisyam Zuhdi di Leler, semua anggota keluarga dipanggil semua untuk menghormati kedatangan salah satu tamunya itu.
Gus Anam juga sempat bertabarukan ke Pondok Pesantren Al Balagh (Bangilan, Tuban) selama sebulan dan Syekh Mahmud Yunus di (Cirebon). Zuhrul Anam kemudian melanjutkan diri ke Pondok Pesantren Al-Anwar (Sarang, Rembang) diasuh oleh KH Maimoen Zubair dari tahun 1985-1989. Di pondok terkenal melahirkan banyak ulama dan pengasuh pondok pesantren itu, ia tak menyia-nyiakan waktunya untuk belajar secara tekun. ”Waktu di Pesanren Al-Anwar saya manfaatkan betul untuk belajar. Sekalipun pelajaran pondok sudah berakhir, saat di kamar saya banyak membaca kitab dan saya baru tidur pada waktu jam 3 pagi dini hari.”
Mengenai sosok KH Maimoen Zubair yang juga adalah pengasuh Ponpes Al-Anwar (Sarang, Rembang) dan merupakan salah satu guru utamanya, KH Zuhrul Anam mengaku banyak menimba ilmu-ilmu agama. “Beliau adalah orang yang mempunyai sifat penyayang sangat tinggi dan ulama yang tinggi keilmuannya,” kata Bapak 2 putra ini (1 laki-laki, 1 perempuan).
Ia juga sempat ke Pandeglang (Banten) untuk tabarrukan dengan Buya Dimyati. Pada tahun 1989 ia sempat belajar dengan KH Mas’ud di Kutoarjo selama tujuh bulan untuk memperdalam kitab Shahih Muslim dan kitab Ihya Ulimiddin. Pada tahun 1992 ia sebenarnya ingin melanjutkan Syekh Ramadhan Al-Buthy, salah seorang penulis terkenal dari Timur Tengah. Ia dikenal sebagai penulis fiqhussirah (pemahaman tentang sejarah Nabi Muhammad SAW) dan Syarah Wirid An-Nawawi (kumpulan penjelasan wirid Imam Nawawi Ad-Dimasyqi). ”Cita-cita saya ingin belajar ke Syria. Saya sangat terkagum-kagum dengan Dr. Syekh Said Ramadhan Al-Buthy (Syiria) dan saya senatiasa berdoa kepada Allah SWT semoga cita-cita saya itu terkabul.”
Namun salah satu kakaknya yang sedang belajar di Mekkah kemudian mengajaknya untuk masuk ke salah satu Ribath Al- Hanafiah yang diasuh oleh Dr. Ahmad Nur Syekh. Tahun 1992 itu juga, ia kemudian berangkat ke Ribath Al-Hanafiah di Mekkah ia mulai belajar dengan Dr. Ahmad Nur Syekh, Syekh Yasir, Syekh Ismail Al-Yamani, Syekh Muhammad bin Alwi bin Abas Al-Maliki Al-Hasani dan lain-lain.
Ia selama di Mekkah ditanggung oleh Dr Ahmad Nur Syekh, segala macam keperluan pribadinya ditanggung oleh guru utamanya itu. “Saya hampir katakan, saya belum pernah ketemu seorang ulama seperti Dr Ahmad Nur Syekh. Kalau mengajar walau tidak membuka kitab namun isi yang diterangkan sama persis dengan tata urutannya yang ada di kitab. Orang yang alim seperti ini mempunyai sifat tawadlu (rendah hati) yang luar biasa.”
Dr Ahmad Nur Syekh sekalipun seorang ulama besar, beliau tidak mau dilayani oleh orang lain. Sampai-sampai urusan sandal pribadinya tidak mau dibawa oleh orang lain (dilayani) saat masuk masjid atau dalam kegiatan-kegiatan keagamaan yang kerap digelar di Mekkah.
Di dalam tradisi Ribath Hanafiah, kitab Bukhari dan Muslim bila diajarkan selalu diulang, dan pengulangannya secara mendetail. Galibnya, ia banyak menimba pelajaran ilmu Hadits, Kutubussab’ah (induk hadits yang tujuh), seperti Bukhari Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, Ad-Darimi. Selama di Mekkah, ia mengaku banyak hidup prihatin apalagi hidup di negeri orang. Karena dalam serba kesederhanaan dan susah, ia mengaku banyak berdoa agar diberi kemudahan dalam menimba ilmu.
Pada tahun 1997 ia kemudian pulang ke Banyumas, tempat kelahirannya untuk mengabdikan diri pada pondok pesantren yang didirikan oleh sang ayahandanya yakni KH Hisyam Zuhdi bersama kakak-kakaknya.
Kiprah Dakwah
Ia saat ini menjabat sebagai salah satu ketua Wustho (semacam Katib Am) di Jami’ah Ahlith Thariqah Muktabarah An-Nahdliah (JATMAN) ini juga mengemban amanah sebagai ketua Forum Silaturahmi Kyai Banyumas (FSKB). FSKB kegiatannya saat ini masih memfokuskan untuk mempererat silaturahmi antar kyai pesantren dari berbagai latar belakang background dan latar belakang partai politik yang berbeda se-Kabupaten Banyumas.
Ke depan, lanjutnya, forum silaturahmi ini mempunyai tujuan yang mulia yakni selain memberdayakan ekonomi pesantren melalui koperasi dan meningkatkan keilmuan para santri. “Kita menyadari kalangan pesantren harus mandiri secara ekonomi karenanya praktek ekonomi yang tepat adalah bagaimana memberdayakan ekonomi pesantren, dengan memberdayakan koperasi pesantren (Kopontren).”
Hanya memang sebagaimana kita ketahui bersama, kalangan pesantren masih lemah dalam bidang Sumber Daya Manusia (SDM) dan permodalan. “Dengan pendirian dan pemberdayaan koperasi santri, diharapkan ke depan para santri bisa mandiri secara ekonomi dan mampu menopang dakwahnya di tengah-tengah umat,” katanya.
Memang sosok Kyai muda dari Banyumas ini terbilang banyak mempunyai gagasan cerdas di tengah umat Islam yang masih butuh bimbingan dan pendampingan. Salah satu cita-citanya yang ingin diwujudkan adalah mendirikan pesantren mahasiswa di Purwokerto. “Kalangan mahasiswa sangat banyak di Purwokerto. Apalagi kalangan mahasiswa juga menjadi objek gangguan faham-faham di luar ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja). Anak-anak Nahdhliyin yang masih mahasiswa, paling tidak harus paham apa itu Aswaja dan siap dididik menjadi benteng dari Aswaja,” katanya.
KH Zuhrul Anam saat ini mengaku prihatin dengan keadaan masyarakat Islam utamanya di Kabupaten Banyumas yang banyak diserbu dengan berbagai pemikiran liberal dan kapitalistik. “Gerakan liberal dan merasa paling benar (mengaku-ngaku Aswaja) sudah masuk ke desa-desa.”
Selain itu, umat juga tengah dikepung oleh kerusakan moral yang sudah begitu merata di mana-mana. “Pelacur saja sekarang sudah pakai jilbab. Bahkan masuk ke dalam kampus-kampus dan kalau pakai jilbab harganya lebih mahal, ini sangat memprihatinkan.”
Untuk itu, katanya jangan jauhkan anak-anak kita dari para ulama. “Didik anak-anak kita dengan pendidikan agama Islam. Dekatkan mereka dengan para ulama. Sebab dengan melahirkan generasi terdidik (akhlakul karimah) itu bisa menjadi benteng yang kuat dari segala faham yang salah dan bisa merusak moral anak-anak kita,” demikian pesan terakhirnya.
0 Responses to "KH. Zuhrul Anam Hisyam"
Posting Komentar